Senin, 15 September 2008

sanggar tawon

BERINGIN & TRADISI

Pohon yang paling tua ini, kalau dibiarkan hidup terus, tingginya bisa sampai 35 m. Tajuk daunnya menaungi apa saja di bawahnya, sejauh 6 m di sekeliling batang yang mbomber bergaris tengah 2 m.

Sebelum pohon jati didatangkan dari India ke Jawa pada zaman Hindu dulu (beberapa tahun sebelum Masehi), beringin sudah ada di hutan-hutan Pulau Jawa. Itulah sebabnya, beringin dianggap "pohon yang paling tua".

Dihormati seperti pohon bodhi
"Tanah tumpah darah" waringin atau caringin Ficus benyamina memang Asia Tenggara (termasuk Indonesia), mengingat begitu banyak keanekaragaman jenis yang ditemukan di sini. Antara lain, pohon lo Ficus glomerata yang dimakan buahnya oleh Otak-otak Ugel dari negeri dongeng. Hampelas Ficus ampelas yang kasar daunnya seperti amplas. Kiyaracondong Ficus rostrata yang tidak bisa tegak batangnya. Karet perca Ficus elastica, dan masih banyak lagi yang lain.
Di Jawa Barat ada desa yang dulu begitu banyak beringin liarnya, sampai disebut Desa Caringin. Di kota Bandung, sampai sekarang ada jalan yang masih saja memakai nama Cihampelas dan Kiyaracondong, karena dulu banyak ditumbuhi Ficus ampelas dan Ficus rostrata. Di Jawa Timur, juga ada desa yang memakai nama Gondanglegi, karena dulu banyak ditumbuhi pohon gondang F. variegata yang manis buahnya.
Di kalangan nenek moyang kita yang beragama Buddha, pohon beringin dihormati seperti pohon bodhi, Ficus religiosa, di desa Budhagaya, Bihar, India, yang menaungi Siddharta Gotama mencapai Penerangan Sempurna dulu. Pohon bodhi tidak ada yang tumbuh asli di Indonesia, tetapi atas jasa Biku Narada dari Sri Lanka, halaman candi Borobudur ditanami pohon ini pada tahun 1934. Di daerah lain yang tidak ada pohon bodhi-nya, ya beringin Ficus benyamina itu yang mendapat kehormatan untuk dihormati.
Penghormatan ini dilestarikan oleh penduduk yang lahir kemudian dan sudah menganut agama lain. Untuk melindungi mata air sebuah desa, misalnya, jangan sampai diinjak-injak dijadikan tempat sembarangan, tetua desa sengaja menanam pohon beringin di dekatnya. Penduduk yang menghormati pohon itu dengan sendirinya juga menghormati tempat mata air yang hendak dilestarikan itu. Kepada anak-anak biasanya disampaikan mitos bahwa di antara akar beringin raksasa itu bersemayam ular penjaga mata air yang besar. Jangan main-main dengan mata air itu!

Beringin konstitusi
Di kalangan raja-raja Jawa, pohon beringin merupakan simbol keabsahan seorang raja yang dinobatkan dan keraton tempatnya bersemayam. Itu sudah berlaku sejak Sultan Pajang membangun keraton di sebelah barat Solo dulu, dan menanam pohon beringin di alun-alun depan keraton. Karena dikurung dengan pagar tembok supaya rapi, pohon itu terkenal sebagai wringin kurung.
Ketika Ki Juru Martani dari Mataram (daerah Yogyakarta sekarang) ingin menghadap Sultan Pajang, ia harus duduk bersila di dekat batang wringin kurung itu. Baru setelah diketahui oleh Sultan, Ki Juru Martani dipanggil masuk keraton, dan ditanya apa maksud kedatangannya. Ternyata ia memberi tahu bahwa Ki Ageng Mataram yang diangkat Sultan Pajang sebagai raja daerah itu telah wafat. Siapakah yang akan ditunjuk sebagai penggantinya?
Sultan Pajang menunjuk putranya, Ngabehi Loring Pasar (kepala yang mencakup kabeh (semuanya) di daerah utara pasar). Sebagai raja Mataram yang baru, ia dibalik namanya menjadi Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama, sebelum kelak balik nama lagi sebagai Panembahan Senopati.
Tradisi memberi kesempatan pada rakyat untuk bertemu raja itu kemudian dilestarikan oleh raja-raja Mataram berikutnya. Sepasang beringin yang sama umurnya ditanam di alun-alun depan gapura keraton. Mengapa ditanam kembar, tidak ada penjelasan dalam sejarah. Diduga, kedua wringin kembar itu harus mengapit jalan yang disediakan untuk lalu lintas gajah kendaraan dinas raja. Keduanya juga dipakai untuk menambatkan gajah-gajah yang sedang diparkir.
Jarak antarkedua batang pohon itu begitu lebar (12 m), sampai bisa dipakai untuk pepe (berjemur) rakyat. Pepe ialah cara yang berbudaya untuk berdemo, meminta perhatian raja agar dapat diterima berdialog.
Pada zaman itu hanya Raja Mataram (yang kemudian sudah menaklukkan Sultan Pajang) yang boleh menanam beringin kembar. Raja lain yang kecil-kecil dianggap menyaingi Maharaja Mataram kalau berani meniru, lalu dituduh menantang.
Raja Jawa lain, dropping dari pusat, seperti Adipati Jepara, Purbaya (Madiun), Tuban, Gresik, dan lainnya, boleh meniru menanam pohon beringin di alun-alun depan keratonnya. Tetapi hanya sebatang.
Begitu pula para bupati yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda di luar daerah kerajaan Mataram. Mereka dikukuhkan dengan pohon beringin tunggal di depan rumah kabupatennya.
Pada zaman sekarang, tradisi menanam beringin masih saja dilakukan oleh para pembesar sipil dan militer Republik yang meresmikan gedung-gedung, seperti gedung koperasi susu sapi, gedung Akademi Kulit, atau pabrik PT. Sandal Jepit Tbk (terbuka).

Pengorbanan petugas tawon
Di alam bebas, benih beringin berkecambah dari buah masak yang jatuh berserakan di tanah sekitar batang. Buah bulat sebesar kelereng yang merah kalau sudah masak itu berbeda sekali anatominya dengan buah yang biasa kita kenal. Buah terbentuk oleh tangkai yang melebar ke samping dan merupakan kantung yang di bagian ujungnya menyempit. Bagian ini merupakan pintu masuk bagi serangga penyerbuk.
Bunganya tidak terletak di luar kantung, tetapi di bagian dalam. Deretan bunga betina menempel pada dinding buah di bagian bawah, dan deretan bunga jantan menempel di bagian atas, dekat pintu. Rongga di bagian tengah kosong melompong.
Berkat pengamatan J. Galil dan D. Eisikovitch dari School of Agriculture, Hebrew University, Tel Aviv, terhadap buah ara sikomor Ficus sycomorus yang diserbuki tawon penyengat Ceratosolen arabicus di Magadi, Afrika Timur tahun 1969, kita sekarang mempunyai gambaran yang jelas bagaimana bunga-bunga Ficus dibuahi (termasuk ara Eropa Ficus carica yang dibuahi tawon penyengat Blastophaga quadraticeps dan niscaya beringin juga yang dibuahi tawon penyengat jenis lain).
Tiap jenis Ficus memang mempunyai jenis tawon penyerbuk tertentu yang berbeda-beda, tergantung pada jenis Ficus yang dihadapi. Tetapi proses penyerbukannya lebih kurang sama dengan yang dilakukan tawon Ceratosolen arabicus dalam bunga Ficus sycomorus Afrika itu.
Tawon penyengat betina yang cuma 2 mm panjangnya tertarik oleh bau sedap bunga Ficus yang semerbak melalui pintu buah yang kecil. Pintu ini begitu sempit, dan dihalang-halangi oleh barisan bulu njegrak, sehingga tidak setiap tawon penyengat bisa memasuki buah. Hanya yang degil dan pandai berkelit yang bisa. Biasanya setelah antena, kaki, atau sayapnya patah.
Segera setelah berhasil masuk, tawon betina bertelur dalam bunga betina yang berderet pada dinding buah. Akibatnya, bunga itu membentuk gal (kutil yang keras dindingnya) sebagai usaha melokalisasi benda yang terasa asing baginya.
Larva tawon yang menetas dari telur jadi tersekap dalam gal berdinding keras ini. Tetapi tidak mengapa! Ia boleh dikatakan berenang dalam bahan makanan calon biji yang masih cair dan melimpah ruah. Tinggal mangap!
Kalau bunga betina diteluri semua, apakah ada yang bisa membentuk biji untuk pembiakan kelak?
Ternyata ada! Lha ini cerdiknya! Bunga betina ada yang bertangkai panjang, dan ada yang pendek. Hanya bunga yang pendek yang diteluri, karena alat pengebor tawon untuk menaruh telur memang pendek. Bunga yang panjang terbebas dari telur, sehingga selamat tidak menjadi makanan bagi anak tawon mangap.
Larva yang menetas mula-mula anak jantan yang tidak mempunyai sayap, karena tidak perlu terbang. Baru kemudian lahir anak betina yang kelak akan bersayap, karena tugasnya melanglang buana.
Anak laki-laki yang tumbuh menjadi pemuda tawon, selain makan juga bertugas mencari gal berisi larva calon betina. Ia mengebor dinding gal, lalu mengawini tawon betina melalui lubang ini.
Sesudah itu tawon jantan mulai mengebor dinding buah. Terpaksa sedikit demi sedikit karena dinding memang lebih tebal. Sedangkan tawon betina memperlebar lubang dinding gal lebih lanjut. Sesudah keluar dari gal tempat pingitannya, ia tumbuh lanjut menjadi tawon dewasa yang bersayap.
Sementara itu, di daerah atasan buah sudah muncul deretan bunga jantan. Ketika lubang hasil karya tawon jantan sudah cukup lebar, tawon betina sudah siap tinggal landas untuk berdinas luar meninggalkan buah. Tetapi supaya bisa keluar, ia harus melewati deretan bunga jantan yang sementara itu sudah siap menitipkan serbuk sari. Serbuk akan disampaikan ke bunga betina dalam buah Ficus lain, dengan ucapan "From Siberia with love".
Sementara itu, induk tawon mati dengan damai setelah bertelur tempo hari. Setelah ditinggal istrinya, tawon jantan pun mati kutu dalam buah Ficus. Kalau buah ini kemudian kita makan, tak usah heran bila di dalamnya ada bangkai-bangkai tawon mati kutu.

Beringin bonsai
Pada zaman modern sekarang, pohon beringin masih tetap favorit. Banyak yang ditanam sebagai pohon hias di tepi jalan kota. Daunnya senantiasa dipangkas agar membentuk tajuk yang membulat seperti kurungan ayam bekisar. Ada pula beringin yang dipelihara sebagai tanaman hias di taman. Tetapi yang dipilih varietas yang daunnya putih.
Beringin biasa yang berdaun hijau juga mengagumkan kalau dikerdilkan sebagai bonsai karang yang akarnya mencengkeram batu karang di bawahnya. Batangnya dibiarkan agak condong seolah-olah tertiup angin seperti pohon raksasa tua. Padahal ukuran dan bentuknya serba mini, dalam pot mini, yang ditaruh di atas meja mini. Tiba-tiba saja, kita merasa seperti main guliver-guliveran yang sedang mengamati pohon beringin di Negeri Liliput.
Sering juga bonsai beringin ditanam berkelompok 4 - 5 batang menjadi satu. Batangnya yang tegak tidak dikotori akar-akar udara, sehingga kalau tumbuh berkelompok tampak keindahannya sebagai batang yang bersih.
Ini berbeda sekali dengan Ficus kurzii yang dipanggil beringin juga, tetapi berakar udara. Ia ditanam soliter, agar tampak seram menunjukkan dengan akar-akar udaranya, yang karena menggantung dari cabang disebut juga "akar gantung". Kesan yang timbul ialah, pohon itu mengingatkan kita pada bentuk pohon tua serupa yang tumbuh seram di alam bebas, penuh burung hantu. Padahal ini cuma kicit! (Slamet Soeseno)

Tidak ada komentar: